Rafi Abdurrahman Ridwan: Disabilitas Bukanlah Batas

Rafi Jakarta Fashion Week 2011

Perjalanan Rafi Abdurrahman Ridwan menapaki karirnya sebagai fashion designer adalah contoh bagi para penyandang disabilitas untuk terus meraih cita-citanya. Rafi yang sejak lahir penyandang tuna rungu (tidak dapat mendengar) berhasil menjadi seorang fashion designer yang diakui dunia. Tentu perjalanannya sebagai soerang designer fashion kelas dunia bukan tanpa hambatan, namun ia terus maju untuk menggapai cita-citanya.

Rafi Abdurrahman Ridwan, berfoto bersama model yang mengenakan busana rancangannya. (Sumber: Dok pribadi Rafi)

Rafi Abdurrahman Ridwan, berfoto bersama model yang mengenakan busana rancangannya. (Sumber: Dok. pribadi Rafi)

Kisah inspiratif ini bermula ketika karya-karya Rafi sangat diapresiasi oleh orang-orang sekitarnya. Sampai seorang fashion designer Indonesia,  Barli Asmara mengajaknya berkolaborasi membuat pagelaran fashion. Setelah pagelaran tersebut, namanya semakin dikenal masyarakat sebagai seorang designer fashion yang berpotensi. Pengakuan sebagai designer berprestasi juga diutarakan oleh Tyra Banks, supermodel dari Amerika Serikat. Semua itu ia dapatkan ketika umurnya baru menginjak 11 tahun.

Karya-karya Rafi menuai pujian berbagai kalangan fashion. Di antara karya-karya tersebut, Rafi menggunakan kain tenun Indonesia. Sebuah cara pandang yang luar biasa. Ia berkarya dalam lingkup internasional dengan membawa budaya Indonesia atau kain tenun Indonesia khususnya. Sungguh inspiratif.

Bagaimana lengkapnya kisah inspiratif Rafi Abdurrahman Ridwan, sila disimak!

Masa Kecil dan Mulai Menumbuhkan Minat Merancang Busana

Ketika sang ibu hamil, beliau terserang virus rubella. Virus ini berakibat buruk pada janin yang dikandung, namun untuk sang ibu tidak terlalu berpengaruh. Kedua orang tuanya terus berjuang bersama-sama merawat janinnya. Lahirlah Rafi dalam kondisi tuna rungu.

Rafi beruntung mempunyai keluarga yang sangat mendukung dan melindunginya. Ia tumbuh sebagai anak yang aktif dan mempunyai rasa ingin tahu yang tinggi. Suatu saat, ia bertanya kepada ibunya apa itu suara.

Mendengar pertanyaan sang anak, ibunya menjadi bingung. Ibunya pun menjawab bahwa suara itu sama seperti warna. Ada biru, hijau, merah dan sebagainya.

Rasa ingin tahu Rafi yang tinggi itu pula yang memperkenalkan dirinya dengan dunia design. Ia bertanya kepada ibunya mengapa karakter Ariel dalam serial “Little Mermaid” memakai baju yang berbeda dan tidak berpakaian seperti perempuan lainnya.

Ibunya kembali bingung. Namun, ibunya meminta Rafi untuk membuatkan pakaian yang bagus untuk Ariel.

Berawal dari sketsa baju Ariel, bakat design Rafi terlihat.

Rafi menggambar sketsa rompi, jaket dan gaun untuk Ariel.

Sebuah pemandangan yang berbeda bagi karya anak-anak yang baru berumur 2 tahun.

Suatu hari, Rafi menuliskan 2 permintaan melalui surat untuk Tuhan.

Pertama, ia ingin bisa mendengar.

Kedua, ia ingin membuat pagelaran busana miliknya di hari ulang tahunnya.

Rafi Abdurrahman Ridwan Memulai Karier Sebagai Perancang Busana

Potensi Rafi sebagai perancang busana mulai dilihat oleh perancang busana Indonesia, Barli Asmara di Jakarta Food and Fashion Festival. Barli terkesan dengan karya Rafi dan mengundang Rafi workshop pirbadinya.

Undangan itu berbuah manis. Pada tahun 2011, perhomonan Rafi untuk membuat pagelaran busana miliknya di hari ulang tahunnya terkabul. Rafi berhasil menggelar Eastern Everland Fashion Show bersama Barli Asmara bertepatan dengan ulang tahunnya yang ke-9.

Busana Rancangan Rafi yang menggunakan kain tenun daerah. (Sumber:Dok. Pribadi)

Busana Rancangan Rafi yang menggunakan kain tenun daerah. (Sumber:Dok. Pribadi)

Pada tahun yang sama, Rafi mendapatkan perhatian dari seorang pengusaha dan pendiri LC Faoundation, Lia Candrasari.

Beliau memperkenalkan Rafi dengan Nonita Respati dan Ariani Pradjasaputra.

Rafi berkolaborasi dengan keduanya. Kolaborasi itu dinamakan PAR.

Kolaborasi itu turut serta pada Jakarta Fashion Week 2011 yang bertajuk Echoes of Heritage.

Pada pagelaran itu, Rafi membuat busana yang fun dan casual menggunakan bahan batik yang berasal dari berbagai kota penghasil batik.

Busana yang dirancang Rafi, menggunakan perpaduan kain tenun.

Busana yang dirancang Rafi, menggunakan perpaduan kain tenun.

Rafi Abdurrahman Ridwan mulai menapaki dunia fashion internasional dengan berkontribusi dalam Indonesia Festival Melbourne pada 2012.

Pada acara yang diliput banyak media Australia itu membuat namanya dikenal oleh super model dunia sekaligus juri acara pencarian bakat mode di Amerika, Tyra Banks.

Karya Rafi dalam America’s Next Top Model dan pujian Tyra Banks

Tidak disangka, pagelaran Rafi di Melbourne membawanya kepada kesempatan yang lebih tinggi. Ia dihubungi oleh manajer Tyra Banks untuk menjadi wardrobe pada final America’s Next Top Model Cycle 20 Boys & Girls yang diadakan pada Agustus 2013 di Bali.

Ibunya sempat terkaget-kaget dan tidak percaya dihubungi oleh manajer Tyra Banks.

Dalam kesempatan itu, Rafi diminta untuk membuatkan 7 pasang pakaian untuk dipakai pada sesi pemotretan.

Busana itu didominasi warna hijau, yang membuat khawatir sang ibu karena sesi pemotretan berada di hamparan sawah. Warna sawah dan hijau berwarna senada, sehingga dibutuhkan keahlian yang membuat busana terlihat indah dengan latar senada.

Kekhawatiran lainnya adalah Rafi belum memiliki penjahit yang professional. Sedangkan, 7 pasang pakaian itu harus selesai dalam waktu 3 minggu.

Namun, Rafi membuktikan kualitasnya dengan mampu memenuhi permintaan dan menjaga kepercayaan Tyra Banks.

Tyra Banks memuji karya-karya Rafi. (Sumber: Dok. Pribadi)

Tyra Banks memuji karya-karya Rafi. (Sumber: Dok. Pribadi)

Atas kepiawannya itu, Rafi menuai pujian. Salah satunya dari Tyra Banks. Tyra mengupload fotonya dengan tulisan “To Rafi The Newst, finest fashion designee in the world (And the youngest!)

Dalam kesempatan yang lain, Tyra Banks juga menuliskan:

So, this is Rafi. Rafi is from Jakarta. Rafi is a prodigy. At 9 years old, he had his first collection fashion week, here in Indonesia. And now he is 11. Rafi is also deaf, yes. And is an amazing prodigy,”

Setelah kesempatan America’s Next Top Model 2013, Tyra terus mengamati perkembangan Rafi. Sekadar ingin tahu, apa ia benar-benar produkif atau hanya bergantung mood.

Baju rancangan Rafi yang digunakan untuk photoshoot model internasional. (Sumber: Dok Pribadi)

Baju rancangan Rafi yang digunakan untuk photoshoot model internasional. (Sumber: Dok Pribadi)

Semoga harapan Tyra terwujud karena hingga sampai saat ini, Rafi terus melakukan pagelaran busana dari tahun ke tahun.

Penghargaan dalam Bidang Fashion Designer

Pada tahun 2016, Rafi mendapatkan Anugerah Kebudayaan dan Maestro Seni Tradisi 2016 kategori Anak dan Remaja. Anugerah Kebudayaan dan Maestro Seni Tradisi adalah acara yang dilaksanakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Piagam Rafi dari Museum Rekor Dunia Indonesia

Piagam Rafi dari Museum Rekor Dunia Indonesia. (Sumber. Dok Pribadi)

Rafi dinilai mempunyai kapasitas sebagai penerima penghargaan ini karena kiprahnya dalam dunia merancang busana dan menggunakan kain-kain tradisional Indonesia pada karya-karyanya.

Rafi juga menerima penghargaan dari Museum Rekor Repulik Indonesia sebagai Perancang Busana Tuna Rungu Termuda Berprestasi International Sejak Umur 9 Tahun pada tahun yang sama.

Penghargaan-penghargaan Rafi lainnya sebagai perancang busana di antaranya:

  1. First Winner for International Young Figures (Tokoh Muda Mendunia) dari Seputar Indonesia Award pada April 2014;
  2. First Winner for Breakthrough People Award Category Fashion Designer Awarded by dari Dreamers Network pada Februari 2015;
  3. Think Big Appreciation dari AJE Indonesia pada Juli 2015;
  4. Mom & Kids Award dari MNC TV kategori Anak Hebat pada Desember 2015.

Menjadi Motivator

Rafi tidak hanya piawai merancang busana, tapi juga mempunyai jiwa sosial yang tinggi.

Sejak 2014, ia menjadi motivator untuk AXA Finansial di Bandung juga motivator untuk Asian Law Student Association (ALSA) Care University of Indonesia.

Beberapa kegiatan sosial yang ia ikuti adalah Voice of Children Concert, Charity Fashion Show for UNHCR Jakarta, California Deaf Festival, Los Angeles, AS.

Penutup

Perjalanan hidup dan karier Rafi Abdurrahman Ridwan ini adalah kisah inspiratif yang sangat menggugah semangat.

Dalam keterbatasan fisiknya, Rafi mampu mengembangkan minat dan bakatnya hingga mendapat pengakuan dunia.

Seperti yang dikutip dalam Buku Profil Penerima Anugerah Kebudayaan dan Maestro Seni Tradisi 2016. Rafi berpesan.

“Anak dan remaja Indonesia harus berani bermimpi setingi-tingginya agar mampu mewujudkan apa yang jadi impian.”

Semoga, kisah ini dapat menginspirasi para pembaca.

Biodata Rafi Abdurrahman Ridwan

  • Tempat Tanggal Lahir : Jakarta, 20 Juli 2002
  • Anak ke                       : 1 dari 3 bersaudara
  • Agama                         : Islam
  • Orang Tua                   : Mohamad Ridwan & Shinta Ayu Handayani

Pendidikan

  • 2004 – 2009       : TKLB (Taman Kanak-kanak Luar Biasa) Santi Rama Kramat
  • 2009 – 2012       :  Homeschooling Kak Seto Jatibening
  • 2012 – 2015       : SDLB B Santi Rama
  • 2015 – present   : SMPLB B Santi Rama

Prestasi

  • Jul 2011                 : Eastern Everland Fashion Show
  • Sep 2011               : Echoes of Heritage Jakarta Fashion Week
  • Jul 2012                 : Lovely Moments For Lovely Kids
  • Sep 2012               : Indonesia Festival Melbourne
  • Jun 2013                : Indonesia Creative Week
  • Jun 2013                : This-able Festival Fashion Show
  • Aug 2013               : America Next Top Model Cycle 20 Boys & Girls
  • Nov 2013               : CRAFINA Fashion Show
  • May 2014               : Sirena Del Sur Fashion Show, JFFF Kelapa Gading
  • Aug – Sept 2014     : Inspiring Roadshow 7 kota besar di Indonesia untuk AXA Finansial Indonesia
  • Oct 2014                 : Mercedes Benz Asia Fashion Week di Kuala Lumpur Malaysia
  • Nov 2014                : Motivator dan Minishow untuk AXA FInansial di Bandung
  • Nov 2014               : Motivator ALSA (Asian Law Student Association) Care University of Indonesia
  • Des 2014                 : Indonesia Fashion Foward – MNC Fashion
  • Oct 2015                 : Voice of Children Concert, Charity Fashion Show for UNHCR Jakarta
  • Oct 2015                 :California Deaf Festival, Los Angeles US Mercedes Benz El Paso Fashion Week

Project

  • Apr 2015                   : Seragam Batik TELKOMSEL
  • Mei 2015                   : Seragam & Atribut MIRACLE ASTHETIC CLINIC

Penghargaan

  • Apr 2014, First Winner for International Young Figures (Tokoh Muda Mendunia) awarded by Seputar Indonesia Award
  • Feb 2015, First Winner for Breakthrough People Award  Category Fashion Designer awarded by Dreamers Network
  • July 2015, Think Big Appreciation – AJE Indonesia
  • Des 2015, Mom & Kids Award  MNC TV kategori Anak Hebat
  • Jan 2016, Rekor MURI sebagai Perancang Busana Tuna Rungu Termuda berprestasi International sejak umur 9 tahun
  • September 2016, Anugerah Kebudayaan dan Penghargaan Maestro Seni Tradisi 2016

Sumber:

“Rafi Abdurrahman Ridwan: Anak Indonesia Harus Berani Bermimpi”

kebudayaan.kemdikbud.go.id/ditwdb/2016/09/28/rafi-abdurrahman-ridwan-anak-indonesia-harus-berani-bermimpi

“Rafi Ridwan: Disainer Muda Indonesia yang Mendunia”

www.youngster.id

“Rafi Ridwan, Desainer Cilik Indonesia Perancang Busana America’s Next Top Model”

https://blog.ruangguru.com/rafi-ridwan-desainer-cilik-indonesia

“Rafi Ridwan: Desainer Tuna Rungu Belia yang Disanjung Tyra Banks”

https://indonesiaproud.wordpress.com/

“Rafi Ridwan, Desainer Muda Indonesia yang Karyanya Dipakai Selebriti Dunia”

http://jabar.tribunnews.com/2017/07/14/rafi-ridwan-desainer-muda-indonesia-yang-karyanya-dipakai-selebriti-dunia

Sahilin: Sang Maestro Kesenian Batanghari Sembilan dari Sumatera Selatan

Potret Sahilin, Maestro Batanghari Sembilan

Batanghari sembilan adalah seni pertenjukan khas Sumatera Selatan. Mendengar kata batanghari sembilan pastilah tertuju pada seorang pria, yaitu Bapak Sahilin. Bapak Sahilin adalah ikon kesenian ini dan dikuatkan dengan pemberian penghargaan sebagai Maestro Seni Tradisi oleh Kemdikbud pada 2008.

Artikel ini menceritakan bagaimana pertemuan penulis dengan Bapak Sahilin di kediamannya, di daerah sekitar Tanggabuntung, Kota Palembang.Tentu juga ditambah informasi lain agar memperkaya pengetahuan tentang kesenian ini dan Bapak Sahilin.

Banyaknya penghargaan dan bergelar Maestro yang diberikan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, tidaklah tergambar dari lokasi kediaman beliau.

Beliau tinggal di sebuah rumah panggung yang cukup sederhana. Rumahnya pun cukup jauh dari jalan besar. Mungkin ketika sungai yang berada di depan gang meluap, daerah rumah Bapak Sahilin terendam air.

Dengan kondisi yang serba keterbatasan, Bapak Sahilin masih aktif melestarikan batanghari sembilan.

Beliau juga masih bersemangat untuk mengajar bagi generasi-generasi muda yang ingin mempelajari kesenian ini.

Potret Rumah Bapak Sahilin, begitu sederhana bagi seorang maestro.

Potret Rumah Bapak Sahilin, begitu sederhana bagi seorang maestro batanghari sembilan.

Asal, calon murid tersebut datang ke rumahnya karena keterbatasan ekonomi membuat beliau tidak dapat menghampiri satu-satu murid yang ingin belajar.

Penjelasan Singkat Batanghari Sembilan

Kesenian ini berjenis kesenian pertunjukan yang dimainkan oleh sepasang penyair pantun dan biasanya penyair pria juga sambil memainkan alat musik gitar. Pantun dinyanyikan berbalasan mengikuti alunan gitar.

Mendengar batanghari sembilan seperti mendengar lagu yang mendayu-dayu, dengan lirik pantun yang berbahasa khas Sumatera Selatan.

Asal-usul nama kesenian ini belum diketahui. Namun, yang pasti tidak lepas dari daerah penghasil kesenian ini.

Ialah, daerah batanghari sembilan yang berarti sembilan sungai yang bermuara di Sungai Musi.

Versi Bapak Sahilin sendiri, nama ini diperkenalkan oleh Alm. Djaafar Malik, seniman dari daerah Lahat.

Masa Kecil dan Sumber Inspirasi Bapak Sahilin

Bapak Sahilin adalah anak kedua dari sembilan bersaudara dari pasangan Muhammad Saleh dan Demah. Beliau lahir pada 1948. Bapak Muhammad Saleh adalah seorang petani karet yang pernah menjadi tentara musik pada masa Jepang.

Ketika berumur lima tahun, Bapak Sahilin terkena penyakit cacar. Sehingga membuat ia kehilangan kemampuan melihat karena ini pula beliau selalu memakai kaca mata hitam di setiap penampilannya, walaupun pada malam hari sekalipun.

Ayahnya, Muhammad Saleh sangat menyukai kesenian. “Dulu almarhum bapak senang nian samo lagu-lagu keroncong, Melayu, dan lagu daerah. Bahkan bapak marah-marah kalau sampai siaran radio yang lagi acara itu sampai dipindah.” Kenang Bapak Sahilin.

Kesukaan ayahnya terhadap kesenian turun kepada Sahilin muda. Ia diberikan gitar oleh ayahnya. Ketika orang tuanya pergi menyadap karet, Sahilin muda memainkan gitar.

Ketika sudah mahir memainkan gitar, ia pun belajar menembang. Seperti penuturannya, malah terkadang ayahnya yang memainkan gitar dan dia yang menembang.

Ketika ayahnya wafat, ia merasakan pedih dan pahitnya kehidupan. Pengalaman itu menginspirasi lagu “Sukat Malang” yang diciptakannya.

Saat ini, inspirasinya berasal dari kehidupan sekitar. “Adonyo siang malem, naik turun, susah seneng, tuo mudo. Itulah yang selalu aku pikirke dan dijadike pantun dalam tembang batanghari sembilan ini.” tutur beliau.

Masuk ke Dapur Rekaman dan Mendapatkan Penghargaan

Rekaman studio pada 1975 adalah tanda penghargaan atas kiprahnya sebagai seniman batanghari sembilan.

Pada tahun itu, Palapa Studio mengorbitkan album pertamanya yang bernama “Ratapan Mati Gadis.” Album itu laku di pasar.

Minat pendengar batanghari sembilan cukup banyak, pada album kedua “Tiga Serangkai” dan album ketiga “Serai Serumpun” juga laku keras.

Hasil penjualan album-album tersebut ia pergunakan untuk membeli tanah, membangun sebuah rumah sederhana, untuk menikah dan menghidupi keluarganya.

Kiprahnya sebagai seniman batanghari sembilan semakin diperhitungkan dengan berbagai penghargaan yang ia terima.

Beberapa di antaranya adalah:

  • Maestro Seni Tradisi dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI pada 2008
  • Anugerah Batang Hari Sembilandari Dewan Kesenian Sumatera Selatan (DKSS) dan Gubernur Sumatera Selatan pada 2009
  • Penghargaan dari Dewan Kesenian Daerah (DKD) OKI pada 2007
  • Penghargaan dari DKP pada 2006
  • Penghargaan dari Komite Relawan Sedunia pada 2000
Penghargaan Anugerah Kebudayaan yang diberikan kepada Bapak Sahilin

Penghargaan Anugerah Kebudayaan yang diberikan oleh Mendikbud kepada Bapak Sahilin.

Penghargaan Batanghari Sembilan yang diberikan oleh Ketua Dewan Kesenian Sumatera Selatan dan Gubernur Sumatera Selatan.

Penghargaan Batanghari Sembilan yang diberikan oleh Ketua Dewan Kesenian Sumatera Selatan dan Gubernur Sumatera Selatan kepada Bapak Sahilin.

Penghargaan yang diberikan oleh Komite Relawan Sedunia kepada Bapak Sahilin, terlihat terdapat sarang rayap di bagian kiri atas.

Penghargaan yang diberikan oleh Komite Relawan Sedunia kepada Bapak Sahilin, terlihat terdapat sarang rayap di bagian kiri atas.

Kabar Terbaru Sang Maestro

Penulis dan rekan, mengunjungi Bapak Sahilin pada 5 November 2017 di kediaman beliau, daerah Tanggabuntung, Kota Palembang.

Kami dijemput oleh Saidina, anak sang Maestro di depan gang yang berada di jalan dekat pelabuhan kapal feri.

Sesampainya di rumah beliau. Beliau tampak sehat dan masih aktif mengisi pertunjukan.

Beliau menceritakan kondisi kehidupan beliau saat ini.

Suasana di rumah Bapak Sahilin, (ki-ka) Saidina, anak Pak Sahilin, Bapak Atqa, dan Bapak Sahilin.

Suasana di rumah Bapak Sahilin, (ki-ka) Saidina, anak Pak Sahilin, Bapak Atqa, dan Bapak Sahilin.

Ia menyambung hidup dengan uang honor pertunjukan ke pertenjukan yang biasanya ketika hajatan pernikahan dan khitanan.

Mungkin, jika sedang ramai bisa mengisi 5-6 panggung setiap bulan. Namun, tiga bulan terakhir belum ada undangan tampil lagi.

Ia tidak pernah mentarifkan setiap undangan pertunjukan. Ia ikhlas menerima apa saja yang diberikan oleh tuan rumah.

Sebelumnya, ia juga aktif pada program di Pal TV dan RRI Palembang. Namun sekarang sudah tidak.

Ketika ditanyakan tentang murid yang pernah menimba ilmu kepadanya. Ia mengingat hanya satu orang yang pernah belajar kepadanya.

Ialah Jefri. Sekarang, Jefri juga sudah menjadi seorang seniman Batanghari 9.

Ia berkata masih mampu jika harus mengajar lagi. Ia selalu membuka rumahnya lebar-lebar untuk murid yang ingin belajar kesenian ini.

Ia sangat khawatir dengan kondisi generasi penerus. Seperti yang pernah ia ucapkan.

“Anak-anak malas menghafal pantun-pantun lama yang dianggap rumit dan panjang. Kalau memikirkan siapa nanti yang mau meneruskan seni batanghari sembilan, saya sering sedih,” kata Sahilin.

Penutup

Kesenian batanghari sembilan adalah salah satu kekayaan budaya yang harus dijaga. Pelestarian ini harus mengajak semua pihak dan melibatkan banyak unsur.

Keberadaan seniman seperti Bapak Sahilin harus didayagunakan agar keseniannya tidak punah. Maestro seperti Bapak Sahilin sangat senang jika bisa meneruskan keahliannya. Namun, kekurangan fasilitas dan pra sarana.

Semoga, pada masa mendatang. Bapak Sahilin dan maestro-maestro seni tradisi yang lain dapat menyalurkan keinginan mengajarnya. Demi kelestarian kekayaan budaya Indonesia.

Karya dan Kiprah Go Tik Swan Panembahan Hardjonagoro Sang Pelopor Batik Indonesia

Nama Go Tik Swan tidak setenar kata batik bagi masyarakat luas. Padahal, beliau salah satu tokoh pelopor dalam pembuatan batik yang memiliki identitas nasional. Ialah Batik Indonesia. Batik Indonesia diprakarsai oleh Bung Karno yang menginginkan sebuah batik simbol persatuan bangsa Indonesia.  Go Tik Swan lah yang mewujudkan batik itu. Mari kita kenal lebih dalam tokoh ini karena banyak sekali ilmu dan wawasan yang dapat kita timba dari kisah hidupnya.

Masa Kecil Go Tik Swan

Beliau adalah maestro batik yang berasal dari Solo. Lahir dari keluarga Tionghoa pengusaha batik pada 11 Mei 1931 di desa Keratonan, Serengan, Surakarta. Ayahnya bernama Go Dhiam Ik yang merupakan cucu dari Luitenant der Chinezen dari Boyolali sedangkan ibunya, Tjan Ging Nio adalah cucu Luitenant der Chinezen dari Surakarta.
Sejak kecil, ia telah banyak bergaul dengan orang-orang Jawa yang bekerja di perusahaan kakeknya. Dari situ, ia mengenal ragam budaya Jawa seperti macapat, pedalangan, gending, suluk dan antawacana (dialog) wayang, Hanacaraka dan tarian Jawa.
Masa kecilnya ia hiasi dengan menimba ilmu seni-seni budaya Jawa. Kepada putra Pakubuwono IX yakni G.P.H. Prabuwinata dan Pangeran Hamidjojo, putra dari Pakubowono X ia belajar menari. Dari sebuah klenteng, ia juga gemar menonton pagelaran wayang.
Ia mengenyam pendidikan di Neutrale Europesche Lagere School di Surakarta, Voorbereiden , MULO, Hoger Onderwys di Semarang dan Universitas Indonesia jurusan Sastra Jawa di Jakarta.Padahal orang tuanya ingin ia masuk pada jurusan ekonomi, namun suara hati yang membuat beliau masuk jurusan Sastra Jawa. Karena pilihannya tersebut, dimulai saat itu ia harus menanggung biaya hidupnya sendiri.

Prof. Dr. Tjan Tjoe Siem berada di tengah

Ia memulai perkuliahnnya pada 1953. Lewat perkuliahannya, ia semakin mendalami budaya Jawa. Beliau bertemu dengan guru yang sangat berpengaruh bagi dirinya. Ialah Profesor Dr. Tjan Tjoe Siem, seorang ahli sastra Jawa lulusan Leiden yang berasal dari Solo dan Profesor Dr. R.M.Ng. Poerbatjaraka.

Bertemu dengan Bung Karno

Sejak kecil telah belajar menari membuat gerak tubuhnya halus dan mampu menarikan berbagai tarian klasik Jawa. Ia mendapatkan kesempatan menjadi salah satu penari dari mahasiswa UI terpilih yang tampil dihadapan Bung Karno saat perayaan Dies Natalis UI. Di hadapan Bung Karno, beliau menarikan tari Gambir Anom. Bung Karno sangat terpukau dengan gerak tubuhnya. Sesuatu yang dianggap luar biasa lagi adalah beliau berdarah Tionghoa. Suatu yang jarang saat itu orang Tionghoa dapat menari Jawa klasik.
Bung Karno menyempatkan diri untuk menyalami beliau. Dalam pertemuan itu Bung Karno berpesan kepada beliau. Seperti yang dikutip dari “Go Tik Swan, Mengenal Sang Legenda Batik Dari Solo”. Bung Karno mengutarakan maksudnya membuat Batik Indonesia. “Djo, (dari Hardjono-pen), kamu kan dari keluarga pengusaha batik, mbok coba membuat untuk bangsa ini ‘batik Indonesia’. Bukan batik Solo, Yogya, Pekalongan, Cirebon, Lasem, dan lain-lainnya, tapi batik Indonesia,” Demikian kata Bung Karno.

Potret Go Tik Swan. Kanan Bawah foto bersama Bung Karno. Sumber foto: thejakartapost.net

 

Permintaan Bung Karno ditanggapi dengan penuh rasa tanggang jawab oleh beliau. Padahal beliau sendiri merasakan keinginan kuat berada di dunia kesenian, seperti saat ia memilih jurusan kuliahnya. Namun, untuk memenuhi permintaan Bung Karno beliau sangat serius. Setelah pertemuan dengan Bung Karno, beliau memulai menjalani pencariannya untuk menemukan Batik Indonesia.
Beliau bermeditasi, berziarah, dan tinggal di daerah-daerah penghasil batik di berbagai kota di Jawa. Beliau bermalam di masjid atau di rumah penduduk. Hampir satu tahun penuh beliau berkelana mencari “Batik Indonesia”, namun ia merasakan kebuntuan.
Dari kebuntuannya tersebut, beliau mendapatkan ajakan teman untuk beristirahat di Bali. Di Bali, beliau tinggal di Ubud. Salah seorang teman yang juga pemerhati budaya, Walter Spies. Selama di Bali, beliau mendapatkan wahyu untuk menciptakan sebuah karya “Batik Indonesia”. Beliau pun kembali ke Solo untuk membuat batik di rumah kakeknya. Hasilnya adalah sebuah batik bermotif yang dinamakan “Parang Bima Kurda”. “Parang Bima Kurda” adalah persembahan untuk Bung Karno. Kurda berarti berani, sedangkan Bima adalah tokoh Pandawa idola sang Presiden.

Menekuni Batik Indonesia

Motif Batik Parang Mega Kusuma yang ditampilkan di Museum Batik Danar Hadi, Solo. sumber:twitter.com

 

Karya-karya beliau yang terkenal lainnya adalah Sawunggaling, Kuntul Melayang, Sedebyah serta Parang Anggrek. Sewaktu menjadi wakil presiden, Ibu Megawati juga pernah menerima sebuah motif khusus dari beliau, Parang Mega Kusuma. Sekarang batik tersebut ada di Museum Batik Danar Hadi, Solo.

Batik Truntum yang dipamerkan di Museum Tekstil

Batik Indonesia ciptaan beliau memadukan corak dan warna dari batik keraton dengan batik pesisir. Namun tidak mengubah falsafah corak yang dikandungnya. “Batik Indonesia yang saya lahirkan atas prakarsa Bung Karno hanya sampai pada suatu perubahan kemajuan teknik pembuatan. Kalau dulu dunia pembatikan di Solo hanya mengenal latar hitam, latar putih, dengan soga, dan pantai Utara Jawa seperti Pekalongan hanya mengenal kelengan berwarna, dengan lahirnya Batik Indonesia, batas-batas tersebut menjadi terhapus. Namun nilai-nilai falsafah pola-polanya tetap yang lama,” Menurut penuturan Neneng Iskandar yang meniru ucapan beliau seperti yang dikutip oleh tribunnews.
Melalui batiknya tersebut, beliau menafsirkan batik Indonesia adalah lambang persatuan. Memadukan corak dan warna namun tetap mempertahankan nilai falsafah pada tiap corak dan teknik lokal yang menjadi akar masing-masing daerah.
 
Saat ini, bagi wisatawan yang ingin melihat jejak perjalanan beliau dapat mengunjungi Dalem Hardjonegaraan di Jalan Yos Sudarso, Solo. Rumah yang berdiri di atas tanah 2.000 meter persegi, berarsitektur art deco itu kini telah menjadi cagar budaya. Bangunan yang terdiri dari rumah utama dengan teras belakang berbentuk setengah lingkaran ini di desain oleh Presiden Sukarno.
Seperti yang dikutip dari “Go Tik Swan, Mengenal Sang Legenda Batik Dari Solo”.  Di belakang rumah utama ada beberapa bangunan pendopo berlantai semen. Di sinilah batik-batik GTS terus dibuat sejak awal kelahirannya hingga kini. Ibu-ibu pembatiknya sebagian telah berusia lanjut. Salah satunya adalah Mbok Jinah, yang kini telah berusia 82 tahun. Ia dengan telaten menggerakkan canting sejak pagi hingga sore hari, menelusuri pola corak batik peninggalan sang legenda.

Kiprah di Berbagai Bidang

Sebagai seorang maestro batik, beliau juga mempunyai perhatian di bidang pendidikan. Ia turut mendirikan Yayasan Pendidikan Saraswati, yang menjadi cikal bakal Universitas Sebelas Maret.
Alm. Paku Buwono XII juga pernah memberikannya kepercayaan sebagai pemimpin pemugaran Museum Keraton Kasunan Surakarta.
Salah satu ajang internasional yang pernah ia hadiri adalah sebagai pengelola paviliun Indonesia dalam New York World’s Fair selama 6 bulan. Saat ajang inilah, motif “Batik Indonesia” diperkenalkan kepada publik Amerika.
Jiwa sosial beliau juga tinggi. Ia mempunyai kebiasan membagikan nasi bungkus berlaut telur dan sambal kepada masyarkat sekitar pada Selasa Kliwon (hari lahir beliau). Pada saat itu, nasi berlauk telur cukup mewah. Namun, sayang tradisi ini terpaksa diberhentikan pada 1980 karena kerusuhan besar anti Tionghoa di Solo. Kerabat mengkhawatirkan bahwa kebiasaan ini disalahtafsirkan oleh pihak-pihak tertentu.
Pemerintah Republik Indonesia memberikan Bintang Jasa tertinggi di bidang kebudayaan, Bintang Budaya Parama Dharma melalui Keppres No. 144/TK/Tahun 2011kepada beliau atas dedikasinya di bidang pembatikan.

Menjaga Warisan Go Tik Swan

Go Tik Swan telah berpulang pada 6 November 2008. Namun, sampai saat ini produksi di Dalem Hardjanegaraan masih menggeliat. Saat ini pengelolaan berada ditampuk pasangan suami istri Hardjosoewarno dan Supiyah Anggraeni karena beliau memilih melajang.

Saat ini Dalem Hardjanegaraan memiliki jumlah pembatik dan staf sebanyak 50 orang. Pesanan terus berjalan dengan harga kain berkisar antara Rp. 700.000 hingga Rp. 7.000.000. Regenarasi tetap ada, namun berjalan lamban.

Galeri foto Dalem Hardjonagaran yang dipamerkan di Museum Tekstil 20 September – 13 November 2017

Menurut Supiyah, lambatnya proses regenerasi karena lebih banyak mendapatkan calon pembatik baru dari kalangan dekat para pembatik sebelumnya. Wajar jika proses regenerasi tidak cepat karena metode pendidikan di sini tidak seperti di sekolah. Tidak ada kurikulum, namun didasari asas kekeluargaan untuk menentukan kelulusan pembatik baru.

Asas kekeluargaan ini adalah salah satu cara merawat konsep “nunggak semi” yang dipegang teguh oleh Go Tik Swan. Konsep pengembangan berdasarkan tonggak lama yang tetap bersemi, namun tidak memunculkan pertumbuhan yang liar dan menyimpang dari akarnya.

Saat ini, dipamerkan karya-karya batik Go Tik Swan di Museum Tekstil dalam pameran yang bertajuk “Nunggak Semi”. Pameran ini dapat dilihat dari 20 September hingga 12 November 2017. Beberapa motif batik yang dapat dinikmati di pameran ini adalah Sawunggalung,

Mari lihat artikel batik lainnya:

Sejarah Batik di Kampung Kauman

 

Sumber:

http://www.thejakartapost.com/life/2017/10/02/preserving-go-tik-swan-batik-legacy.html

https://profil.merdeka.com/indonesia/g/go-tik-swan/

https://www.femina.co.id/profile/go-tik-swan-mengenal-sang-legenda-batik-dari-solo

http://www.beritajakarta.id/read/49812/pengunjung_antusias_dengan_pameran_batik_di_museum_tekstil#.Wd3FK7XVDDc

http://wartakota.tribunnews.com/2017/09/24/mengenal-batik-nasional-karya-go-tik-swan-penambahan-hardjonagoro?page=2

https://www.kompasiana.com/sang-pengembara/go-tik-swan-dan-batik-indonesia_55095a63a333116d3a2e39b5

Sumber foto:

twitter.com

https://usemayjourney.files.wordpress.com/2015/04/foto-go-tik-swan1.jpg

Profil dan Sejarah Singkat Slamet Abdul Sjukur

Profil Slamet Abdul Sjukur disarikan dari tulisan “Slamet Abdul Sjukur: Pelopor Musik Kontemporer Indonesia” yang ditulis oleh Dewi Nova dalam Buku Profil Penerima Anugerah Kebudayaan dan Penghargaan Maestro Seni Tradisi 2016. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (sumber foto: ianbamforth.files.wordpress.com)

Slamet Abdul Sjukur terkenal sebagai pelopor musik kontemporer yang minimaks. Disebut minimaks karena ia menciptakan musik dari bahan yang sederhana dan minim. Kekaryaannya diakui oleh dunia melalui berbagai forum internasional dan penghargaan bergengsi.

Salah satunya adalah penghargaan tertinggi untuk musik dan sastra dari Pemerintah Perancis yaitu Officier de l’Ordre des Art et des Lettress.

Tidak hanya berkiprah di luar negeri. Slamet juga ingin merawat kepekaan nurani bangsa melalui musik. Ia pun mendedikasikan dirinya mengajar di beberapa Institut seni dan organisasi musik.

Masa Kecil

Slamet Abdul Sjukur lahir dari pasangan Abdul Sjukur dan Canna. Keluarga ini hidup di kota Surabaya, Jawa Timur dan berprofesi sebagai pedagang yang sebelumnya seorang guru.

Pada masa kanak-kanak,  Slamet  sering diolok-olok temannya  karena tidak dapat berjalan seperti umumnya orang berjalan. Ia memiliki keterbatasan pada kakinya.

Sang nenek, Buyuti, menyukai musik. Beliau menghibur Slamet kecil melalui musik. Ia sering mengajak Slamet mendengarkan alunan piano yang dimainkan tetangganya yang berkebangsaan Belanda.

Buyuti juga mengajak Slamet menikmati pergelaran-pergelaran musik.

Saat pertunjukan berlangsung, Buyuti mengajarkan Slamet untuk diam.

Diam  menghayati,  yang kemudian menjadi pijakan Slamet dalam bermusik: mendengarkan musik dengan sungguh-sungguh agar musik dapat berbicara pada pendengar.

Mulai Belajar Bermusik

Slamet Abdul Sjukur mempunyai piano ketika orang tuanya menghadiahinya pada usia tujuh tahun.

Ketika berumur sembilan tahun Slamet mulai belajar piano secara privat.

Slamet dan keluarga harus mengungsi ketika kedatangan Jepang ke Indonesia (1942) dan meninggalkan pianonya di Surabaya.

Setelah perang kemerdekaan, Ia kembali ke Surabaya pada 1949.

Slamet mengenyam pendidikan dasar di Taman Siswa di Surabaya.

Slamet belajar gamelan di sana karena sekolahnya mewajibkan. Pengalaman ini memperluas wawasan musiknya.

Selain belajar gamelan, ia juga tetap melanjutkan belajar piano secara privat dari berbagai guru pribumi dan berkebangsaan Eropa.

Salah satu gurunya adalah Josep Bordmer,  yang berkebangsaan Swiss.

Josep memperkenalkan padanya musik Perancis dan Spanyol,  terutama untuk genre akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.

Perkenalan itu membawa Slamet pada khazanah karya Maurice Ravel,  terutama Sonatina untuk piano solo.

Proses itu juga menjadi dasar yang turut menentukan keinginan Slamet melanjutkan studi musik di Perancis, saat ia dewasa kelak.

Slamet melanjutkan belajar musik Barat pada  Sekolah Musik Indonesia (SMID)—sebelum berganti nama menjadi Akademi Musik Indonesia (AMI), lalu berubah lagi  menjadi Institut Seni Indonesia (ISI)—di  Yogyakarya.

Pilihan studinya tersebut juga atas dukungan Bordmer yang juga mengajar teori musik di sekolah musik  tersebut.

Slamet dan mahasiswa lainnya menikmati pembelajaran yang menyeluruh: dari teori, psikologi, hingga penciptaan musik karena pada masa itu, pembelajaran seni musik di SMID belum dipesifikasi.

Selanjutnya, ayahnya mendaftarkan Slamet pada sekolah musik di Paris.

Tetapi mereka harus melakukan perjalanan ke Belanda terlebih dahulu untuk pemulihan kaki Slamet.

Belajar Musik di Prancis

Pada usia 27 tahun (tahun 1962) Slamet Abdul Sjukur menuju Paris untuk tinggal selama 14 tahun di sana.

Keberangkatannya untuk menekuni musik didukung oleh beberapa lembaga seperti Alliance Francise di Surabaya, Kedutaan Besar Prancis di Jakarta, dan Yayasan Albert Roussel.

Di Paris, Slamet belajar analisis di  Conservatoire National  Superieur de Musique dan belajar komposisi di Ecole Normale de Musique de Paris.

Pengalamannya di Paris membuatnya merasakan jiwa bermusik.

Ia berkembang menjadi komposer andal yang mampu menciptakan komposisi musik dari bahan sederhana.

Slamet kemudian dikenal sebagai komposer Minimaks yang menciptakan musik dengan menggunakan bahan yang sederhana dan minim.

Ia dapat menciptakan karya dari desir angin, gesekan daun, gemericik air, bunyi gesekan sapu di jalanan, bunyi ketiak yang diapit yang ditengahnya diselipkan telapak tangan, dan perbincangan orang-orang di sekitarnya.

Melalui bahan sederhana itu, Slamet menjelajah dan menghasilkan komposisi yang unik.

Karya-karya Slamet Abdul Sjukur

Bagi Slamet Abdul Sukur keterbatasanya diolah sebagai tantangan berkreativitas.

Dari pengalamannya sebagai difabel, Ia pernah membuat paduan suara dari orang-orang yang bersuara sengau.

Ia juga membuat komposisi musikal oleh 200 anak pemulung yang bernyanyi sambil bermain instrumen mungil yang terbuat dari bambu.

Adapun karya-karya musiknya yang dikenal dunia, antara lain: “Ketut Candu”, “String Quartet I”, “Silence”, “Point Cotre”, “Parentheses I-II-III-IV-V-VI”, “Jakarta 450 Tahun”, dan “Daun Pulus”.

Hanya “Daun Pulus” yang terkenal di Indonesia. Inspirasi “Daun Pulus” bersumber musik dari jaipongan. Musik ini dipesan koreografer Farida Feisol untuk pementasan balet pada Desember 1983.

Ia bergabung dengan Groupe de Recherches Musicales de I’ORTF (kelompok peneliti musik  radio dan televisi Perancis) yang dipimpin penemu musik-elektroakustik Pierre Scaeffer.

Di Groupe, Slamet mengeksplorasi aneka sumber bunyi untuk disusun menjadi musikal.

Adapun untuk kebutuhan hidupnya, Slamet menjadi pemain piano pada beberapa sekolah balet.

Kiprah Slamet Abdul Sjukur di Indonesia

Slamet Abdul Sjukur kembali ke Indonesia karena  guru yang dihormatinya di  SMID, Sumaryo L.E. (sempat memimpin IKJ), dan Sukahardjana memintanya mengabdi di IKJ.

Menjelang kepulangan ke Indonesia, Slamet menciptakan musik bertajuk “Angklung”  yang mendapatkan penghargaan medali tembaga (bronze medal) dari Festival de Dijon, dan piringan emas (golden record) dari Academie Charles Cros untuk musik “Angklung” (1975).

Tahun 1978, Slamet mendapatkan pesanan musik dari Pemerintah Perancis.  Dengan penghargaan musik (berupa uang) itulah ia membiayai kepulangannya ke Tanah Air.

Sampai di Indonesia, Slamet dititipkan pada seorang janda, Ibu Trisno Sumarjo Sastra Amidjojo.

Karier Slamet terus berjalan hingga menjabat dekan di IKJ. Tetapi, pada tahun 1987, Slamet dipecat karena pemikirannya terkait musik belum dapat diterima oleh pemerintah pada masa itu (Orde Baru), terutama terkait keberanian Slamet menentang arus.

Ia membuat terobosan dengan menghapus dasar teori musik dan bertumpu pada kebutuhan kreatif.

Kebebasan berkreativitas adalah hal utama bagi Slamet.

Kepada putrinya, Tiring, Slamet pernah berkata seandainya di Indonesia ada kebebasan beragama  ia akan mengisi kolom beragama di identitas penduduk (KTP) dengan musik. Karena, menurutnya, musik mengasah kepekaan yang luar biasa.

Tahun 2000,  atas rekomendasi Dieter Mack (seorang yang menekuni pengumpulan musik-musik Indonesia agar tidak punah), Slamet mengajar di STSI Surakarta (kini ISI Surakarta).

Ia mengajar di program pascasarjana untuk subjek penciptaan. Ia juga sempat mengajar di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung.

Selain mengajar, sebelum ia memperdalam pengetahuannya tentang musik di Paris, Slamet tercatat sebagai penggagas organisasi PMS (Pertemuan Musik Surabaya)  pada tahun 1957.

Organisasi ini diramaikan musisi muda yang bersama-sama melakukan nonton bareng film musikal, pergelaran musik dan berdiskusi.

Topiknya antara lain dirigen kondang Barenboim, Glengold, AeroSon-Arno Petesr, Beethoven dan topik lain yang menantang para musisi muda. Tahun 1994  ia menggagas berdirinya Asosiasi Komponis Indonesia (AKI), yang bertujuan untuk mempermudah penyebaran partitur dan rekaman karya terbaru ke seluruh Indonesia.

Saat aktif di Dewan Kesenian Jakarta (1979 – 1985), Slamet juga menggagas Pekan Komponis Muda yang bertujuan merawat pendidikan, kreativitas dan kritik dalam bermusik.

Tahun 1981, Slamet menyelenggarakan pertunjukan musik kontemporer selama satu bulan, bekerja sama dengan Kedutaan Besar Perancis di Jakarta. Acara yang diselenggarakan di Bandung dan Jakarta ini membuatnya mendapatkan  penghargaan Medaile Commemorative Z. Kodaly dari Hungaria.

Slamet mencintai musik karena mencintai bangsanya dan generasinya.

Amanat Slamet Abdul Sjukur

Kepada Tiring, anaknya, ia menyampaikan harapannya: bahwa,  Slamet ingin anak-anak Indonesia peka rasa.  “Musik itu kepekaan rasa, generasi yang dekat dengan musik  akan menjadi orang yang tepo seliro, tutur Slamet.

Menurut Tiring, ayahnya juga selalu menekankan untuk menjadi diri sendiri,  tidak kebarat-baratan dan punya jiwa yang sederhana.

Sementara kepada Marti, anak angkat yang menemani Slamet berkarya di masa akhir hidupnya, Slamet berpesan  orang yang penyayang tidak akan pemarah, orang yang cinta tidak perlu memiliki, dan hindarkan rasa benci, dengki, dalam hidup dan berkarya.

Adapun terkait penghargaan Tanda Kehormatan Satyalancana Kebudayaan yang diberikan Pemerintah RI, Tiring menyampaikan puji syukur. Ia bahagia ayahnya yang sering dianggap aneh, kurang dihargai media, akhirnya dimengerti oleh zamannya dan mendapatkan penghargaan dari pemerintahnya.

 

Biodata

Nama: Slamet Abdul Sjukur

Lahir: Surabaya, 30 Juni 1935

Wafat :  24 Maret 2015

Pendidikan

  • Ecole Normale de Musique de Paris untuk komposisi musik dengan Henri Dutilleux (mendapat lincence de composition 1967, mendapat licence d’Enseignement de Piano, 1965)
  • Conservatoire National Superieur de Musique untuk analisa dengan Oliver Messiaen dan organologi dengan Chambure
  • Sekolah Musik Indonesia di Yogyakarta (1952 – 1956)
  • SMP Taman Siswa (1952)
  • SD Taman Siswa (1949)

Jabatan/Karier

  • Pediri Asosiasi Komponis Indonesia
  • Dekan di Institut Kesenian Jakarta
  • Ketua Komite Musik Dewan Kesenian Jakarta (1977 – 1981)
  • Pediri Alliance Francaise di Surabaya (1960)

Karya Musik

  • “Ketut Candu”
  • “String Quartet I”
  • “Silence”
  • “Point Cotre”
  • “Parentheses I-II-III-IV-V-VI”
  • “Jakarta 450 Tahun”
  • “Daun Pulus”
  • “Angklung” direkam oleh perusahaan musik Arion (1976)

Penghargaan

  • Tanda Kehormatan Satyalancana Kebudayaan yang diberikan Pemerintah RI (2016)
  • Penghargaan dari Gubernur Jawa Timur atas dedikasinya pada musik (2005)
  • Officier de l’Ordre des Art et des Lettress, penghargaan tertinggi dari Pemerintah Prancis untuk musik dan sastra (2000)
  • Penghargaan dari Majalah Gatra sebagai perintis musik alternatif (1996)
  • Millenium Hall of Fame of the American Biografical Institut (1998)
  • Penghargaan dari Institut Kodaly, Budapest, Hongaria atas usahanya menyelanggarakan pertemuan musik Surabaya bertajuk “Kujadikan Rakyatku Cinta Musik” yang sejalan dengan misi Zoltan Kodaly (1983)
  • Medaile Commemorative Z. Kodaly dari Hungaria (1981)
  • Penghargaan dari Yayasan Eduard Van Van Beinum Stichting dari Pemerintah Belanda atas prakarsanya membentuk “International Composers Workshop” (1975)
  • Medali tembaga (Bronze Medal) dari Festival de Dijon untuk musik “Angklung” (1975)
  • Piringan Emas (Golden Record) dari Academie Charles Cros untuk musik “Anklung” (1975)

Artikel Terkait

error: Maaf, konten terproteksi.