Kampung Tarung, Waikabubak, Sumba: Keeksotisan dan Semangat

Wisata di Kampung Tarung, Waikabubak, Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur menawarkan pengalaman hidup di tengah-tengah masyarakat yang berkembang seiring modernitas dan adat istiadat lokal. Cocok sekali bagi wisatawan yang ingin merasakan kearifan lokal yang berbeda. Umumnya, masyarakat telah mengenal Pulau Bali yang memadukan wisata tradisional dan modernnya. Pulau Sumba menawarkan pengalaman yang juga unik, namun belum banyak dirasakan orang lain. Kampung ini tidak hanya mempesona dari keeksotisannya, juga semangat dalam mengukuhkan identitasnya.

Artikel ini menyajikan gambaran umum bagi wisatawan yang ingin berwisata di Pulau Sumba, khususnya Kampung Tarung, Waikabubak. Beberapa Aspek yang akan dibahas antara lain akomodasi selama di sini dan gambaran singkat Kampung Tarung, Waikabubak, pengalaman mengunjungi, dan semangat yang tersimpan di sana.

 

Gambaran Singkat Kampung Tarung, Waikabubak

Kampung Tarung adalah sebuah kampung dan juga institusi sosial dan agama Merapu, agama nenek moyang masyarakat di sini. Kampung ini dipimpin oleh seorang Rato. Rato yang memimpin saat ini adalah Rato Lado Regi Tera. Di dalam Kampung terdiri dari beberapa rumah yang berbentuk rumah adat Sumba atau uma.

Potret Rato Lado Regi Tera saat kami wawancarai di kediamannya, Kampung Tarung, Waikabubak, Sumba Barat

Rumah adat Sumba atau uma berciri arsitektur vernakular. Berbentuk segi empat dan panggung, ditopang oleh empat tiang utama yang disebut kambaniru ludungu dan 36 batang tiang, kambaniru. Rumah ini beratap ilalang dan dibangunnnya tanpa menggunakan paku satu pun.

Ada tiga bagian utama. Pertama, toko uma, berbentuk menara yang berada di atas lantai utama, tempat menyimpan hasil panen dan benda pusaka. Kedua, bei uma, ruang huni yang di dalamnya berisi tempat tidur dan dapur. Ketiga, kali kabunga, ruang bawah rumah panggung yang menjadi kandang untuk ternak dan kuda.

Dikutip dari kompas.com. Ada sekitar 102 uma yang dihuni sekitar 400 keluarga. satu uma dihuni oleh 3 – 4 keluarga. Rata-rata penduduk di sini mempunyai mata pencarian sebagai petani, pengrajin tenun ikat, dan pegawai negeri sipil.

 

Pengalaman Mengunjungi Kampung Tarung, Waikabubak

Jarak Kampung Tarung Waikabubak dari Bandara Tambolaka kurang lebih 60 menit menggunakan kendaraan roda empat. Kondisi jalan mulus dan agak berkelok-kelok ketika mendekati bukit. Namun, jika malam hari cukup gelap karena tidak ada lampu jalan.

Kampung Tarung dari pusat kota Waikabubak cukup dekat. Mungkin hanya sekitar 1 km dari jalan utama hingga masuk ke pintu masuk kampung.

Sesampainya di kampung, tidak susah untuk menemukan ternak dan anjing yang dipelihara masyarakat.

Beberapa perempuan sedang menenun dan ada beberapa kain tenunan yang ditampilkan di teras rumah.

Masyarakat di sini ramah dan murah senyum.

Kami harus sedikit berjalan ke atas untuk menuju Rumah Rato Lado yang berada di tengah kampung dan dekat tempat upacara.

Rato Lado menyambut kami di rumahnya. Pancaran wajahnya ramah dan bersahabat. Rato mempersilahkan kami duduk dan berbincang-bincang di teras.

Tim kami saat berbincang dengan Rato Lado. (ki-ka) Bapak Rully, Bapak Pandu, Rizky, Rato Lado Regi Tera.

Masyarakat Kampung Tarung menganut kepercayaan Merapu, agama nenek moyang masyarakat di sini. Pada bulan suci, Wula Phodu, masyarakat mengadakat ritual dengan pagelaran musik, tarian adat, dan pemberian sesaji oleh Rato. Biasanya Wula Phodu digelar pada bulan Oktober atau November, tergantung posisi bulan.

Di dekat rumah Rato, ada sebuah bidang tanah yang dikelilingi oleh kubur batu dan ada rumah kecil yang berukuran 2×3 meter. Di Rumah kecil itu lah tempat Rato berdoa. Dalam tiap bulan tiga kali Rato berdoa, pada awal, tengah dan akhir bulan.

Di sini kami diajari menyirih oleh Ibu Miranda, istri dari Rato. Menurut penuturan beliau, kebiasaan menyirih mengandung simbol perpaduan unsur maskulin dan feminin dari kepercayaan masyarakat Sumba. Biji pinang menyimbolkan feminin, buah sirih menyimbolkan maskulin dan kapur sebagai media blending-nya.

Masyarakat Sumba juga memiliki salam tersendiri, yang disebut salam Sumba. Salam Sumba dapat dilakukan oleh semua orang. Salam itu dilakukan dengan bersalaman tangan dan menempelkan dahi. Keduanya bertukar napas saat dahi mereka menempel.

 

Semangat Memperjuangkan Identitas

Sebagai penganut agama Merapu, masyarakat di sini hidup sesuai dengan ajarannya. Dari keseharian, perkataan, perbuatan, tata cara membangun rumah, upacara adat, hingga pernikahan.

Mereka mendapatkan tantangan dengan belum diakuinya agama Merapu dalam kolom agama Kartu Tanda Penduduk dan beberapa kebijakan pemerintah yang mewajibkan anak-anak sekolah dasar pergi ke rumah ibadah agama lain pada Minggu atau Jumat.

Nantinya anak-anak itu diharuskan menulis ringkasan khotbah dan meminta tanda tangan pemimpin ibadah. seperti yang dikutiip dari Kompas.com.

Rato Lado memiliki semangat untuk memperjuangkan hak warganya sebagai warga negara Indonesia yang memiliki identitas. Menurutnya, dalam usaha melestarikan budaya asli Indonesia juga harus mendukung pelaku budayanya. Salah satunya dengan memberikan pengakuan atas agama kepercayaan Merapu.

 

Akomodasi Selama di Sumba

Beberapa hotel di daerah Tambolaka menyediakan shuttle ke bandara. salah satunya hotel Sinar Tambolaka. Jaraknya cukup dekat dari Bandara Tambolaka, namun membutuhkan waktu untuk ke tempat wisata.

Kamar di Sinar Tambolaka cukup baik dan fasilitasnya juga cukup lengkap. di sini ada cafe rooftop, kolam renang yang bagus, dan pemandangan sawah dengan kerbau dan kuda Sumba.

Semalam di hotel ini sekitar 450.000 rupiah per malam

Untuk pergi ke beberapa tempat wisata di Sumba, wisatawan harus menyewa kendaraan roda empat. Selama di Sumba, kami menghubungi salah satu driver yang kontaknya dapat ditemui di google.

Untuk makan sehari-hari, warung makan mudah ditemui di kota. Ada berbagai jenis yang umum ditemui di Jakarta dan Pulau Jawa, seperti bakso, rumah makan padang dan warung sate. Masakan yang khas di sini adalah ikan bakar karena ikan di sini masih segar.

 

 

Masjid Baiturrahim: Masjid Kokoh Di Tengah Gelombang

Masjid Baiturrahim adalah masjid yang sempat viral pasca bencana alam gempa dan tsunami yang menimpa kota Banda Aceh pada 26 Desember 2004. Dalam foto-foto pasca tsunami, tergambarkan betapa masjid ini kokoh berdiri di tengah tumpukan reruntuhan rumah-rumah yang diterjang tsunami. Pada faktanya hampir empat dusun terseret arus tsunami dan menelan korban enam ribu warga sekitar masjid.

Masjid Baiturrahim terletak di daerah Ulee Lheue, kota Banda Aceh. Letak masjid ini hanya beberapa puluh meter dari garis pantai. Saat tsunami menerjang, masjid ini menjadi tempat berlindung. Hanya sembilan orang yang selamat dengan naik di atap masjid. Menurut pengakuan Bapak Subhan, seorang pengurus masjid “Orang bisa berenang antara tiang ini ke tiang itu. Sementara di luar (air) bergulung-gulung sangat ganas”.

Masjid ini adalah salah satu masjid tertua di Aceh. Masjid ini dibangun pada masa Sultan Iskandar Muda di atas tanah wakaf Teuku Hamzah. Letak bangunan masjid yang lama saat ini terletak di tanah yg dibangun menara. Saat itu masjid hanya bernama masjid jami Ulee Lheue.

Masjid Baiturrahim pasca tsunami

Ketika perang sabil berkecamuk menghadapi Belanda, masjid Baiturrahman terbakar. Para pejuang Aceh mundur dari pusat kota. Masjid ini menjadi pusat ibadah pejuang Aceh. Namanya diubah menjadi Masjid Baiturrahim.

(Ketahui tentang Masjid Baitturahman, masjid rekam peradaban Aceh!)

Ketika pejuang Aceh semakin terdesak dengan gempuran penjajah Belanda. Wilayah Ulee Lheue berhasil direbut oleh Belanda. Belanda membangun masjid Baiturrahim dengan batu dan semen.

Masjid ini telah beberapa kali direnovasi. Pada 1983, beberapa bagian bangunan masjid ini sempat rusak karena gempa bumi yang menimpa Aceh. Bagian yang rusak termasuk kubah masjid. Pada 1993 masjid ini kembali dipugar dan diperluas.

Tahun 2017, ketika penulis mengunjungi masjid ini telah berdiri galeri kecil dan toko souvenir di samping masjid ini. Galeri ini berisi tas, kopi, gantungan kunci khas Aceh. Di sini juha banyak kumpulan foto-foto bersejarah, terutama foto-foto pasca tsunami.

Jika ingin merasakan wisata pantai di Aceh, wisatawan harus menyempatkan diri ke daerah Ulee Lheue. Selain dapat mengunjungi masjid Baiturrahim, pengunjung dapat bersantai di sepanjang pantai Ulee Lheue. Di sana banyak para penjaja jagung bakar, sate, dan air kelapa. Cocok untuk menikmati alam dan menunggu matahari terbenam.

Masjid Baiturrahman: Rekam Lapisan Peradaban Islam di Aceh

Banda Aceh memiliki banyak masjid yang megah. Di antara satu yang paling mencirikan masjid di Banda Aceh adalah Masjid Baiturrahman. Tidak banyak yang tahu, bahwa masjid ini pernah mengalami beberapa kali renovasi. Dalam setiap renovasi, terekamlah jejak peradaban islam di Banda Aceh.

Masjid ini dibangun pada masa Sultan Iskandar Muda pada 1612. Bangunan masjid beratap berpundak-pundak seperti kebanyakan masjid di Jawa. Masjid saat itu hanya beralaskan tanah, bertiang kayu, dan beratapkan rumbia. Di sekeliling masjid dibentengi oleh benteng yang cukup tebal.

Masjid Baiturrahman pada 1873

Pada 1873, masjid ini pernah terbakar akibat perang suci yang dikobarkan pejuang Aceh melawan kolonialis Belanda. Enam tahun selanjutnya, masjid kembali dibangun namun atas bantuan Belanda.

Belanda yang sempat menguasai sebagian kecil wilayah Aceh memprakarsai pembangunan kembali masjid bersejarah ini. Pembangunan itu didasarkan pada permusyawarahan antara Belanda dengan kepala-kepala negeri sekitar Banda Aceh yang menghasilkan sangat besar pengaruh masjid bagi masyarakat Aceh yang beragama islam.

Pembangunan kembali masjid Baiturrahman melibatkan arsitek Belanda dan mempekerjakan etnis Tionghoa. Pembangunan masjid selesai pada 1883. Bentuk bangunan berubah seluruhnya dan mempunyai kubah di tengahnya. Pada awal masjid selesai dibangun, masyarakat Aceh tidak hendak salat di sana karena masjid itu dibangun oleh penjajah Belanda.

Masjid Baiturrahman pada 1878

Belanda dengan segala upaya membujuk masyarakat Aceh untuk salat di masjid Baiturrahman. Pada 1893, Belanda dapat membujuk tokoh-tokoh Aceh seperti Tengku Keumala dan Tengku Krueng Kalee. Hanya sebagian kecil masyarakat yang salat.

Masjid kembali diperluas pada tahun 1935, 1965 dan 1991. Perluasan dapat terlihat dari jumlah kubah dan menara yang dibangun

Masjid Baiturrahman pada 1936

Masjid Baiturrahman pada 1936

Pada tahun 2015, masjid ini dibangun kembali. Pembangunan masjid memfokuskan pada halamannya. Sekarang di sekeliling masjid mempunyai payung yang menyerupai masjid Nabawi dan basement yang dapat menampung 300 buah mobil dan ratusan sepeda motor.

Peresmian pembangunan masjid ini dilaksanakan pada 2017 oleh Bapak Jusuf Kalla, Wakil Presiden RI.

Para wisatawan berfoto di halaman masjid

Interior masjid ini mempunyai detail yang baik. Di setiap langit-langit terdapat ukiran motif yang bernapaskan islam dan dihiasi lampu gantung yang antik. Namun, jika dilihat dari dalam,  masjid terasa lebih sempit.

ntu masjid yang menghadap menara utama

Interior Masjid Baiturrahman Aceh saat ini

Masjid Baiturrahman adalah salah satu simbol kebudayaan islam di Aceh. Pada setiap renovasi menunjukkan lapisan peradaban yang terekam dalam sejarah Aceh. Bagi wisatawan yang ingin ke Aceh wajib mengunjungi masjid ini.

error: Maaf, konten terproteksi.