Mengenal Pewarna Batik: Dari yang Alami Hingga yang Sintetis

Pewarna batik adalah salah satu faktor yang menunjang pembuatan sebuah batik. Dahulu hanya dikenal pewarna alami, namun sekarang telah dikenal berbagai zat sintetis/kimia untuk mewarnai batik. Penggunaan pewarna alami tentu tidak lepas dari ilmu pengetahuan dan kearifan yang dimiliki nenek moyang kita. Sedangkan, munculnya pewarna kimia adalah simbol dari kemajuan teknologi dan perkembangan Industri batik.

Berbagai keunggulan dan kekurangan dimiliki pewarna alami dan sintetis/kimia. Pewarna alami terkenal dengan keramahan lingkungan, namun memiliki jumlah yang terbatas. Sedangkan pewarna sintetis/kimia sangat menguntungkan untuk industri, walaupun memiliki dampak pada pencemaran lingkungan.

Artikel ini akan mengulas tentang berbagai hal tentang pewarna batik.

Mari disimak!

Pewarna Batik Alami

Pewarna Batik alami adalah pewarna yang dihasilkan dari berbagai tumbuhan dan bahan-bahan alami lainnya. Apakah bisa tumbuh-tumbuhan menjadi zat pewarna pada kain?

Contoh yang dapat terjadi sehari-hari adalah ketika baju kita terkena tumpahan atau cipratan kuah soto. Kuah soto biasanya berwarna kuning, warna kuning itu berasal dari kunyit.

Jika kuah soto terciptrat atau tertumpah di baju atau celana yang berwarna putih. Maka baju atau celana yang terciprat itu akan mempunyai noda kuning ketika air kuah itu kering.

Kira-kira seperti itu lah pewarna alami.

Sebenarnya, pengetahuan akan pewarna alami telah dikenal sejak zaman dahulu.

Pengetahuan itu telah diaplikasikan ke berbagai hal, salah satunya adalah membatik.

Untuk mengingatkan, proses pembuatan batik yang ditulis ataupun dicap keduanya memiliki tahapan pewarnaan. Pada proses ini lah, zat-zat pewarna dicampur dengan air dan diaduk bersama kain yang telah dilapisi lilin.

(Kenali perbedaan batik tulis, cap dan print dalam artikel ini!)

Pengetahuan pewarnaan alam ini berbeda di satu tempat dengan tempat yang lain karena para pembatik menggunakan bahan pewarna yang tersedia di lingkungannya.

Mari kita kenali tumbuhan-tumbuhan apa saja yang dapat menghasilkan warna-warna untuk batik:

  • Kunyit
Kunyit, tumbuhan yang memiliki sejuta manfaat. hallosehat.com

Kunyit, tumbuhan yang memiliki sejuta manfaat. Sumber: hallosehat.com

Kunyit yang juga disebut kunir (Curcuma longa, Curcuma domestica) adalah tanaman rempah-rempah yang tumbuh di Indonesia. Kunyit dalam pewarnaan menghasilkan warna kuning. Selain, menjadi bahan pewarna kunyit memiliki banyak manfaat untuk kesehatan dan bumbu masak.

  • Kulit Akar Mengkudu
Kulit akar mengkudu yang telah dipotong-potong untuk dijadikan pewarna batik

Kulit akar mengkudu yang telah dipotong-potong untuk dijadikan pewarna batik. sumber: batiktuliscanting.blogspot.com

Kulit akar mengkudu (Morinca citrifolia) dikenal juga sebagai noni, pace atau bentis dalam bahasa Jawa. Dalam pewarnaan menghasilkan warna merah cerah. Tumbuhan ini juga memiliki banyak manfaat, buahnya terkenal sebagai obat herbal untuk sakit kanker, loh.

  • Kulit Pohon Mundu

Pohon Buah Mundu, bentuknya yang bulat seperti apel membuat tanaman ini juga dinamakan Apel Jawa. Sumber: jitunews.com

Kulit pohon mundu (Garcinia dulcis) biasa disebut juga buah apel Jawa. Tanaman ini dapat menghasilkan warna hijau jika dicampur dengan air tawas.

  • Air Tawas

Tawas yang berbentuk kristal. sumber pipitta.com

Air tawas sebenarnya biasa digunakan untuk penjernih air. Namun, jika digabungkan dengan kulit pohon mundu dapat menghasilkan warna hijau.

  • Daun Nila

Daun pohon nila. Sumber: obatrindu.com

Danu nila (Indofera) atau yang disebut juga tarom dapat menghasilkan warna biru jika dicampur dengan air kapur.

  • Kulit Buah Manggis

Kulit buah manggis yang akhir-akhir ini terkenal sebagai obat herbal, ternyata juga bisa menjadi pewarna batik alami. Sumber: sehatcenter.com

Kulit buah manggis selain banyak mengandung khasiat untuk kesehatan, juga dapat menghasilkan warna. Beberapa warna yang dapat dihasilkan dari kulit buah manggis adalah merah, ungu dan biru. Buah manggis memiliki zat tannin, zat warna yang dimiliki tumbuhan, yang terbaik.

  • Kulit Pohon Soga tingi

Tumbuhan Soga tingi yang dapat digunakan kulit pohonnya sebagai pewarna alami batik. Sumber: wikipedia.org

Kulit pohon soga tingi (Ceriops tagal) dikenal sebagai pewarna batik oleh sebagian besar pembatik. Warna yang dihasilkan oleh kulit pohon soga tingi bergantung dari proses pewarnaannya. Handayani PA menyebutkan dalam abstraksi esainya bahwa  ekstrak kulit pohon soga tingi dapat memproduksi tannin (zat warna pada tumbuhan) jika dicampur dengan 96% ethanol dan memakan waktu selama 3 jam. Ekstrak kulit pohon soga tingi jika bercampur dengan tumbuhan tunjung menghasilkan warna hitam, jika bercampur dengan jeruk nipis menghasilkan warna cokelat, dan jika bercampur dengan tawas menghasilkan warna cokelat kemerah-merahan.

  • Kulit Pohon Soga Jambal

Pohon Soga Jambal. sumber: obatrindu.com

Kulit Pohon Soga Jambal (Pelthophorum Ferruginum) memiliki 17,7% zat tanin. Warna yang dihasilkan dari kulit kayu jambal adalah cokelat kemerahan.

  • Kayu Tegeran

Kayu tegeran yang sudah dipotong-potong dan dikeringkan. sumber: zatwarnaalami.blogspot.com

Kayu tegeran (Cudraina Javanensis) digunakan bersaman dengan kulit kayu soga untuk menghasilkan warna kuning. Kayu tegeran daapat digunakan sebagai pewarna batik yang memiliki kecerahan warna dan ketahanan luntur yang baik, menurut hasil penelitian Vivin Atika dan Irfa’ina Rohana Salma. Hasil penelitian tersebut terbit dalam jurnal Majalah Ilmiah: Dinamika Kerajinan dan Batik Vol. 34 No 1 tahun 2017. Untuk lebih lengkapnya silahkan klik di sini.

  • Kesumba

Pohon Kesumba. Sumber: zatwarnaalami.blogspot.com

Kesumba (Bixa Orelana) adalah tanaman yang berasal dari Mediterania. Buah kesumba dapat dijadikan sumber pewarna alam. Selain dapat digunakan untuk pewarna batik, buah kesumba juga bisa digunakan untuk berbagai macam bahan pewarna, seperti makanan, kosmetik dan sabun.

  • Daun Jambu Biji
Daun jambu biji. selain dapat mengatasi diare juga bisa menjadi pewarna batik

Daun jambu biji. selain dapat mengatasi diare juga bisa menjadi pewarna batik. sumber: vemale.com

Jambu biji (Psidium Guajava) sangat bermanfaat bagi tubuh. Daunnya pun telah diketahui menjadi obat diare sejak zaman orang tua dahulu. Ternyata, daunnya juga dapat menjadi sumber pewarna alami. Zat warna yang dihasilkan dari daun jambu biji adalah warna hijau kecoklatan. Beberapa mahasiswa UNY telah meriset tentang hal ini. Lengkapnya silahkan cek di sini.

  • Ekstrak daun teh

Daun teh ternyata juga bisa menjadi sumber pewarna alami. sumber: Medkes.com

Teh tentu biasa kita lihat sehari-hari. Ternyata, selain dapat diminum, daun teh juga bisa menjadi sumber pewarna alami. Ekstrak daun teh dapat menghasilkan warna merah kecokelatan. Terdapat hasil penelitian mengenai teh sebagai sumber pewarna alam. Untuk lebih lanjut, silahkan baca di tautan berikut ini.

  • Bagian-bagian Tanaman Bakau

Tanaman Bakau (Mangrove), selain memiliki manfaat sebagai penjaga ekosistem bawah air juga dapat menjadi bahan pewarna alam. Seperti yang tertulis di buku Keeksotisan Batik Jawa Timur: Memahami Motif dan Keunikannya. Di daerah Kedung Baruk, kecamatan Rungkut, Surabaya para pengrajin batik dapat menggunakan beberapa bagian tanaman bakau sebagai sumber pewarna alam.

Penggunaannya dicampur dengan berbagai zat lainnya seperti caping bunga dan bruguira untuk menghasilkan warna merah dan mencampur kunyit, getah nyamplung dan gambir untuk menghasilkan warna kuning.

Dr Ir Delianis Pringgenies MSc juga pernah mempraktikan cara pengolahan tanaman bakau sebagai sumber pewarnaan alami. sila di cek di tautan berikut ini.

Dari sekian banyak tanaman sumber pewarnaan alami yang telah diulas, mereka juga memiliki berbagai kelebihan dan kekurangan.

Kelebihan pewarna alami, di antaranya:

  1. Ramah lingkungan;
  2. Kombinasi warnanya bersifat lembut, harmonis, dan tidak bertabrakan;
  3. Disertai dengan aroma yang khas;
  4. Kain batik yang menggunakan pewarna alami memiliki harga yang lebih tinggi

Kekurangan pewarna alami, antara lain:

  1. Variasi warna yang sangat terbatas;
  2. Bahan pewarna harus diolah terlebih dahulu, cukup memakan waktu;
  3. Proses pewarnaan pun perlu diulang-ulang untuk mendapatkan warna sesuai selera;
  4. Warna yang dihasilkan tidak tahan terhadap sinar matahari, jika terlalu sering dipakai di kegiatan luar ruangan dapat membuat warna gelap menjadi pudar;
  5. Membutuhkan modal yang besar menggunakan pewarna alami.

Pewarna Batik Sintetis/Kimia

Pewarna batik sintetis/kimia muncul seiring dengan perkembangan industri batik. Penggunaan pewarna alami memakan waktu dan biaya yang cukup tinggi. Untuk produksi yang jauh lebih besar, dibutuhkan sebuah pewarna yang dapat menunjang produktivitas.

Seperti yang tercatat pada buku Keeksotisan Batik Jawa Timur: Memahami Motif dan Keunikannya, Zat pewarna kimia ini pertama kali diperkenalkan oleh pedagang Tionghoa sekitar awal abad ke-20.

Pewarna kimia pun juga memiliki spesifikasi yang berbeda.

Tergantung dengan harganya.

Untuk yang mahal, warna yang dihasilkan jauh lebih bagus.

Ketimbang, yang murah.

Beberapa pewarna batik kimia, di antaranya:

  • Naphthol

Bubuk Napthol memiliki berbagai macam warna. sumber: kidungasmara.com

Napthol adalah jenis pewarna yang susah larut di air. Untuk menggunakannya dapat melarutkan dengan air panas dan diberi sedikit Caustic Soda.

Beberapa jenis Napthol yang ada di pasaran adalah Naphthol AS, Naphtol ASG, Napthol ASBU, Napthol ASGR, Naphtol ASOL, Napthol ASWR, Naphtol ASBR dan sejenisnya.

Tahapan penggunaan Napthol di antaranya:

  1. Kain dicelupkan ke dalam air panas yang mengandung Napthol dan Caustic soda. Pada tahap pencelupan pertama warna belum timbul pada kain.
  2. Kain yang telah melewati proses pertama dicelupkan kembali ke dalam laurtan garam diazodium yang sesuai dengan warna yang diinginkan.

Ketebalan warna yang dihasilkan pada jenis zat pewarna kimia naphtol ini tergantung dari kadar Napthol yang diserap oleh kain. Biasanya penggunaan napthol hanya pada proses pencelupan tidak untuk mencolet atau mengkuas.

  • Indigosol

Bubuk indigosol. sumber: tradeindia.com

Indigosol adalah jenis pewarna sintetis/kimia yang mudah larut di air.

Ketika kain dicelupkan ke dalam air yang telah dicampur Indigosol, hanya akan timbul warna yang samar.

Kain harus dioksidasi dengan zat Natrium Nitrit (NaNo2) lalu dicelupkan ke dalam larutan HCI atau H2SO4 untuk memunculkan warnanya.

Indigosol dapat digunakan pada proses pencelupan dan mencolet sekaligus.

  • Remazol

Remazol termasuk dalam jenis zat warna reaktif. Maksudnya adalah dapat beraksi dan mengadakan ikatan langsung dengan serat sehingga menjadi bagian serat itu sendiri.

Penggunaan remazol pada batik bisa dalam proses pencelupan, coletan dan kuasan.

Karakteristik zat ini di antaranya: mudah larut dengan air; warna yang bagus dengan ketahanan luntur yang baik, daya afinitas rendah.

Penggunaan remazol dapat menggabungkan natrium silikat untuk menjaga warna.

Kekurangan dan kelebihan pewarnaan ini terletak dalam kacamata bidang industri.

Kelebihan yang paling utama adalah unggul dari berbagai bidang produksi, seperti mudah didapatkan, cepat teraplikasi pada kain, tersedia dalam jumlah yang banyak.

Kekurangannya adalah risiko penggunaan bagi lingkungan sekitar. Penggunaan zat pewarna kimia yang berlebihan dapat mencemarkan lingkungan, membahayakan kehidupan manusia dan alam.

Penutup

Kedua jenis zat pewarna ini mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Namun, opini penulis  adalah lebih baik menggunakan zat pewarna alami. Tentunya, penggunan zat pewarna alami harus melibatkan segenap pihak. Membuat sistem yang baik terhadap sumber daya pewarna alam, yang di dalamnya termasuk produksi, distribusi, penelitian dampak terhadap lingkungan, dan lain-lain.

Penulis berharap. Jika seluruh pihak bergerak dalam bidang  ini,  maka mampu menciptakan ekosistem kebudayaan yang baik. Di mana semua pihak merasakan manfaatnya. Kelestarian budaya terjaga, masyarakat pendukungnya sejahtera, dan alam pun terawat baik.

 

Liputan Temu Wicara 33 Kain Nusantara di Alun-alun Indonesia

Para Pembicara Temu Wicara 33 Kain Nusantara

Temu Wicara 33 Kain Nusantara adalah kegiatan seminar pada 8 November 2017 di Alun-alun Indonesia, Grand Indonesia di jalan MH. Thamrin, Jakarta yang mendiskusikan berbagai aspek mengenai perkembangan kain nusantara di Indonesia. Kegiatan ini terlaksana atas kerjasama Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan Palalada.

Temu wicara ini menghadirkan Bapak Hilmar Farid, Direktur Jenderal Kebudayaan, Ibu Ananda Moersid, ahli kain tradisional, dan Ibu Des Syamsidar Isa, designer dan ahli fashion di bidang kain tradisional. Sebagai moderator dalam temu wicara ini adalah Ibu Pincky Sudarman.

Agenda temu wicara ini adalah mengulas tentang kain tradisonal Indonesia serta mempromosikan industri kerajinan garment tradisional dan mengulas berbagai tantangan dan kondisi yang dialami oleh penenun dan pengusaha kain tradisional Indonesia.

Sesi Pembicara Temu Wicara 33 Kain Nusantara

Kegiatan ini dibuka oleh moderator Pincky Sudarman dengan memperkenalkan narasumber-narasumber yang akan berbagi informasi.

Pertama adalah Bapak Hilmar Farid. Bapak Hilmar yang sekarang menjabat sebagai Direktur Jenderal Kebudayaan adalah seorang aktivis di bidang kebudayaan. Kedua adalah Ibu Des Syamsidar Isa. Beliau adalah seorang ahli fashion dan disainer yang telah memperkenalkan kain-kain tradisional Indonesia ke Mancanegara. Berpengalaman selama 20 tahun dalam bidang fashion dan disainer. Ketiga adalah Ibu Ananda Moersid. Beliau adalah pemerhati kain tenun.

Bapak Hilmar Farid mendukung tentang kegiatan ini. Ini bentuk dari promosi kain-kain tradisional kepada masyarakat. Sebagai pemerintah yang bekerja dalam kebudayaan ada beberapa hal yang harus disinergikan dalam pemajuan kebudayaan, seperti yang tertuang dalam UU No.5 Thn. 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.

Dalam bidang tenun, misalnya. Kebanyakan dari pengrajin mengeluhkan susahnya mendapatkan benang untuk menenun. Kebanyakan dari mereka mengimpor benang. Itu karena kurangnya produksi bahan dasar benang yang mungkin berkurangnya ini karena penebangan pohon penghasil bahan dasar benang untuk dijadikan sesuatu yang berguna dalam bidang lain.

Hal ini harus menjadi perhatian. Jika Ingin memajukan kebudayaan kita harus memperhatikan ekosistemnya. Promosi budaya dan masuknya kesenian tradisional ke dalam kurikulum di sekolah itu sangat baik, namun itu belum cukup. Contohnya adalah kondisi tenun tadi. Jika pun tenun sudah terkenal dan masuk ke sekolah. Masih mempunyai persoalan dengan bidang produksinya.

Untuk memajukan sebuah kebudayaan kita harus mengelola dengan baik ekosistem budaya. Ini  menyangkut banyak hal dan keseluruhan aspek. Ketersediaan bahan dasar hanyalah satu aspek. Sebagai wakil pemerintah dalam bidang kebudayaan, Direktorat Jenderal kebudayaan merancang untuk membuat ekosistem kebudayaan yang lebih baik. Tentu ini akan menyangkut bidang yang lebih luas dan merangkul berbagai pihak.

Ibu Des Syamsidar Isa menyampaikan banyak bidang yang harus diperhatikan dalam membangun kerajinan kain nusantara. Dari pengalamannya selama berpuluh tahun dalam pengembangan kerajinan ini. Berbagai aspek yang harus dicermati adalah kondisi pengrajin, pemasaran, dan transfer knowledge ke generasi muda.

Beberapa penenun kenalan beliau, mengkhawatirkan dengan masa depan mereka sebagai penenun. Menenun adalah pekerjaan yang cukup lama dengan menghabiskan waktu seharian penuh. Kegiatan ini sangat berisiko karena belum tentu tenunan mereka dapat terjual, sedangkan kebutuhan hidup harus terus dipenuhi.

Hal ini menyangkut dengan pemasaran dan promosi kain tenun itu sendiri. Jika pasar untuk kain tenun masih terbilang susah dan tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup, maka para penun bisa beralih profesi.

Kondisi yang memprihatinkan lainnya adalah beberapa penenun di Sambas ada yang bekerja sebagai penun di Brunei Darussalam. Mereka bekerja untuk digaji. Dalam sehari jam kerja mereka lebih dari 10 jam dengan gaji tetap Rp. 1.580.000 per bulan. Suatu hal yang harus diperhatikan demi kelestarian kain tenun nusantara.

Ibu Des Syamsidar Isa sangat mendukung jika kain nusantara diajarkan di sekolah. Hal itu untuk pelestarian dan transfer knowledge generasi muda. Ibu Sebelum menutup sesinya, Ibu Syamsidar melemparkan sebuah topik yang masih harus digali kembali. Di Sambas, mereka mengenal kata lungi yang mungkin padanannya adalah kata tenun. Sedangkan, di Myanmar mereka juga mempunyai kosa kata lun gi. Suatu hal yang perlu dikaji demi perkembangan kekayaan budaya kita.

Ibu Ananda Moersid menyampaikan bahwa kain tenun, batik, dan kain tradisional lainnya tidak hanya berupa kain dalam kacamata masyarakat pendukungnya. Tapi, mempunyai makna dan tidak lepas dari elemen tata sosial masyarat pendukungnya.

Motif-motif yang digambarkan mempunyai makna tersendiri. Penggunaannya pun juga tidak dapat asal-asalan. Ada motif yang khusus raja. Ada motif untuk pernikahan, kelahiran, juga kematian. Harus ada pengetahuan penggunaan motif-motif tersebut agar pengetahuan itu tidak punah.

Dalam produksi pun harus dilihat nilai-nilai yang terkandung di dalam sebuah alat produksi. Misalnya dalam pewarnaan kain jumputan. Lebih baik memakai biji-bijian untuk membuat jumputannya daripada sebuah plastik yang mempunyai kegunaan yang sama karena pemakaian biji-bijian adalah simbol dari kesuburan.

Hal ini juga harus masuk ke dalam sebuah workshop atau kelas-kelas menenun yang dikelola secara modern. Jangan meninggalkan nilai-nilai dalam pembuatan sebuah kain karena itu lah yang sesungguhnya bermakna.

Sesi Diskusi Temu Wicara 33 Kain Nusantara

Sesi diskusi pada Temu Wicara 33 Kain Nusantara terbagi menjadi dua. Sesi pertama memiliki dua penanggap dan kedua juga memiliki dua penanggap.

Penanggap pertama, seorang bapak yang penulis tidak dapat menuliskan namanya karena kurang jelas terdengar. Beliau bertanya apakah temu wicara ini ada kaitannya dengan UU No. 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan? Juga, menurutnya akan susah kebudayaan jika dibatasi oleh wilayah administrasi. Bagaimana dengan batik Pekalongan, apakah itu menjadi milik Kota Pekalongan atau Kabupaten Pekalongan?

Penanggap pertama adalah ibu Glory (mohon maaf jika salah menulis), soerang pengelola sekolah fasihon. Beliau mendukung pelestarian kain nusantara dan jika memungkinkan dimasukkan ke dalam kurikulum. Pihaknya sendiri sudah memasukan tema-tema Indonesia dalam tiga tahun terakhir.

Bapak Hilmar Farid menanggapi kedua tanggapan tersebut. Menurutnya, pemasukan hal ini ke dalam kurikulum adalah satu hal. Target Direktorat Jenderal Kebudayaan mengelola kebudayaan secara keseluruhan. Usaha ini masih memiliki jalan yang cukup panjang.

UU No. 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan dipandang sebagai platform. Di dalam UU tersebut kita beralih apa yang harus diurus, yaitu tata kelolanya. Dalam tata kelola, penetapan (sebuah bentuk budaya atau seni) adalah langkah pertamanya.

Masuk ke ranah batas administrasi. Itu adalah hal yang pelik. Masuk ke dalam hak cipta. Jika ini hak cipta individual bisa dapat selesai. Misalnya Batik Pekalongan, pemiliknya siapa? Kekayaan intelektual dengan kepemilikan properti tidak lah sama.

Jika suatu budaya atau kesenian muncul nilai ekonomi. Nantinya akan timbul klaim. Ini masalah yang tidak mudah dan tidak dapat dihindari. Untuk menanggulangi hal itu, kita harus membangun kebudayaan terpadu yang berbasis riset.

Ibu Ananda Moersid mengatakan harus ada pendekatan lain untuk menjawab permasalahan-permasalahan ini.

Sesi tanggapan kedua adalah dari Bapak Muhammad Aman (mohon maaf jika salah menulis). Beliau menceritakan pengalamannya sebagai salah satu perwakilan Indonesia yang turut pada rapat UNESCO 2003. Beberapa yang menjadi permasalahan itu sama yaitu klaim. Misalnya pantun, Indonesia join bersama dengan Malysia. Penetapannya berbasis ke masyarakat secara multilateral.

Penutup

Kegiatan berupa temu wicara dan seminar dengan tema ini sangat baik. Memberikan pengetahuan yang terkini tentang kebudayaan Indonesia, kain nusantara khususnya. Semoga dengan dibangkitkannya topik kain nusantara. Membantu terciptanya ekosistem kebudayaan yang harmonis dan memakmurkan pelaku budaya.

Beberapa artikel mengenai kain-kain tradisional Indonesia yang dapat dilihat di website ini adalah:

Kain Tenun Gringsing: Keluhuran yang Terus Dijaga

Gadis-gadis Bali mengenakan kain Gringsing. sumber: bisniswisata.co.id
Kain tenun gringsing adalag kain tenun khas suku Aga Bali yang berasal dari desa Pegeringsingan, Tenganan. Kain yang akhir-akhir ini booming karena mempunyai daya tarik ekonomi yang tinggi. Selembar kain Geringsing mempunyai harga 1 juta – 20 juta rupiah. Namun, aspek ekonomi hanyalah sebagian kecil dari nilai yang dikandung kain ini.
Kain Tenun Gringsing. Terlihat motif-motif khas Tenun Gringsing. sumber: lifestyle.okezone.com

Kain Tenun Gringsing. Terlihat motif-motif khas Tenun Gringsing. sumber: lifestyle.okezone.com

Kain ini adalah sebuah kekayaan budaya Indonesia. Hanya ada tiga kebudayaan yang dapat melakukan teknik double ikat, yaitu India, Jepang dan Indonesia. Salah satu contoh hasil dari teknik double ikat adalah kain Gringsing.
Kain Tenun Gringsing diproduksi di desa Pegeringsingan, Tenganan, Bali. Pemerintah RI, melalui Ditjen Hak Kekayaan Intelektual memberikan hak eksklusif Indikasi Geografis kepada Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG) Tenganan. Pemberian itu dinilai sebagai pelestarian dan perlindungan bagi penenun desa Tenganan karena kain Geringsing tidak hanya sebuah kain, tapi mempunyai arti bagi kehidupan masyarakat di Tenganan.

Foto koleksi Tropen Museum yang menggambarkan seorang gadis bali sedang menenun. sumber: wikipedia.org

Gringsing berasal dari dua kata, gering yang berarti sakit dan sing yang berarti tidak. Bagi masyarakat pendukungnya, kain ini adalah simbol kesucian yang menjaga dari penyakit dan kejahatan. Dalam kepercayaan masyarakat, Tenganan mendapatkan tempat yang baik karena berada di dekat dengan gunung dan jauh dari pantai.Wilayah gunung adalah wilayah yang paling baik karena dekat dengan Dewa, sedangkan pantai lebih dekat dengan dunia manusia dengan segala baik dan buruknya.

Ilustrasi pengenalan istilah tenun weft/pakan dan wrap/lungsin. sumber artwithmissgrifin.wordpress.com

Kain tenun Gringsing ditenun menggunakan teknik ikat ganda yang terkenal sangat sulit. Kemampuan masyarakat Tenganan dalam teknik ini pun dipercaya diajarkan langsung oleh Dewa Indra. Teknik ikat ganda adalah memasukan weft/pakan (benang yang melintang) ke dalam wrap/lungsin (benang yang membujur), namun keduanya telah diwarnai. Sehingga harus ada keakuratan dalam memadukan warna di pakan dan di lungsing agar tercipta motif yang luar biasa.

Proses Pembuatan Kain Tenun Gringsing

  • Memintal benang
Ilustrasi proses memintal benang secara tradisional. Gambar ini bukanlah pemintalan benang yang digunakan untuk kain Gringsing, namun prosesnya hampir menyerupai. sumber: esocright.blogspot.co.id

Ilustrasi proses memintal benang secara tradisional. Gambar ini bukanlah pemintalan benang yang digunakan untuk kain Gringsing, namun prosesnya hampir menyerupai. sumber: esocright.blogspot.co.id

Benang dibuat menggunakan bahan dasar kapuk berbiji satu ayng didatangkan dari Nusa Peninda karena hanya dihasilkan di sana. Benang lalu dibuat dengan cara dipintal.

  • Mewarnai benang
Benang yang akan diwarnai. Beberapa yang diikat dengan tali rafia adalah bagian yang dijaga agar warna tidak menyerap ke dalam sana. Dari proses ini, sudah dapat dilihat motif kainnya. sumber: kabarkomik.wordpress.com

Benang yang akan diwarnai. Beberapa yang diikat dengan tali rafia adalah bagian yang dijaga agar warna tidak menyerap ke dalam sana. Dari proses ini, sudah dapat dilihat motif kainnya. sumber: kabarkomik.wordpress.com

Kumparan-kumparan benang diwarnai dengan cara direndam ke dalam air yang berwarna. beberapa bagian benang ditutupi agar tidak meresap warna. Jadi, semenjak dari kumparan benang, warna telah disiapkan untuk membuat pola.

Kotak yang berisi pewarna alam untuk pembuatan kain Gringsing. di sebelah kanan adalah biji kemiri dan beberapa potongan akar mengkudu dan kulit kayu kepudung. sumber:kabarkomik.wordpress.com

Kotak yang berisi pewarna alam untuk pembuatan kain Gringsing. di sebelah kanan adalah biji kemiri dan beberapa potongan akar mengkudu dan kulit kayu kepudung. sumber:kabarkomik.wordpress.com

Zaman dahulu hanya terdapat tiga warna dalam pembuatan kain ini, yaitu warna kuning, warna merah dan warna hitam. Warna-warna itu menyimbolkan dewa-dewa dalam kepercayaan Hindu. Warna kuning adalah simbol dari Dewa Siwa, dewa penghancur. Warna merah adalah simbol dari Dewa Brahma, dewa pencipta. Warna putih adalah simbol dari Dewa Wisnu, dewa pemelihara.

Perwarna yang digunakan adalah pewarna alam. Kepundung putih yang dicampur dengan kulit akar mengkudu adalah bahan utama membuat warna merah. Minyak buah kemiri yang telah berusia tua dan dicampur dengan air serbuk kayu adalah bahan utama membuat warna kuning. Sedangkan, Pohon taum bahan dasar membuat warna hitam.

Proses mewarnai memakan waktu yang cukup lama, beberapa warna harus direndam selama kurang lebih 1 – 2 bulan untuk pewarnaannya. Tergantung ketebalan warna yang diinginkan. Jika satu kumparan harus mengalami beberapa kali pewarnaan, waktunya menjadi berkali-kali lipat.

Ketika kumparan telah selesai diwarnai seluruhnya, kumparan tersebut dicuci dengan air beras agar mendapatkan kekakuan dan menghindari kekusutan dan kerusakan ketika proses menenun
  • Menenun

Read More

error: Maaf, konten terproteksi.